Senin, 18 Mei 2015

supervisi kepemimpinan kepala sekolah



17 Mei 2015
SUPERVISI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH /MADRASAH

“ Pemimpin yang profesional adalah pemimpin yang cerdas dalam ilmu, terampil dalam bertindak santun dalam bersikap”
A.    Pendahuluan
Agar desentralisasi dan otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus berindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.
Dari segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orang tua siswa, masyarakat dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktkkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung.
Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar mengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research. Sebab, dengan penelitian kelas itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu  meningkatkannya secara berkelanjutan.
B.     Pengertian Kepemimpinan
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai peran kepemimpinan dalam pendidikan, akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa definisi kepemimpinan yang cukup representatif, di antaranya:
1)      Turney mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu group proses yang dilakukan oleh seseorang dalam mengolah dan menginspirasikan sejumlah pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi melalui aplikasi teknik-teknik manajemen.
2)      Arthur G. Jago dalam Griffin mendefinisikan bahwa kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu process dan property. Sebagai suatu proses, kepemimpinan adalah mempengaruhi anggota group tanpa paksaan untuk mengarahkan dan mengkoordinir aktivitas-aktivitasnya dalam pencapaian tujuan. Sebagai suatu property, kepemimpinan adalah suatu perangkat seperangkat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mencapai suatu kesuksesan dalam mempengaruhi anggota groupnya.
Dari beberapa definisi mengenai kepemimpinan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola anggota kelompoknya untuk mencapai tujuan organisasi. Proses mempengaruhi ini tentunya bukan dengan jalan paksaan, tetapi bagaimana seorang pemimpin itu mampu berinteraksi dan menginspirasikan tugas kepada bawahannya dengan menerapkan teknik-teknik tertentu sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu sehingga apa yang dituju dapat tercapai dengan sukses.
C.     Faktor Pendukung Kepemimpinan
Faktor penentu keberhasilan seorang pemimpin di antaranya adalah “teknik kepemimpinan”, yaitu bagaimana seorang pemimpin mampu menciptakan situasi sehingga menyebabkan orang yang dipimpinnya timbul kesadarannya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh seorang pemimpin. Dengan kata lain efektif atau tidaknya seorang pemimpin tergantung dari bagaimana kemampuannya dalam mengelola dan menerapkan pola kepemimpinannya sesuai dengan situasi dan kondisi dalam organisasi tersebut.
Banyak orang telah melakukan penelitian tentang kepemimpinan. Pada mulanya, para peneliti mencoba menggunakan pendekatan sifat atau karakteristik pemimpin, yang kemudian melahirkan “teori sifat”. Karena penelitian ini belum menghasilkan penemuannya yang konsisten dan belum memuaskan, kemudian mereka menggunakan pendekatan perilaku dalam penelitiannya, yang kemudian melahirkan “teori pelaku”.
1)      Pendekatan Sifat
Penelitian kepemimpinan pada tahap awal didominasi dengan pendekatan sifat para pemimpin. Para peneliti berusaha mengidentifikasikan sifat-sifat penting para pemimpin yaitudengan cara menguji sifat-sifat dan karakteristik personal para pemimpin, seperti Ghandhi, Lincoln, dan sebagainya. Adapun sifat-sifat kepemimpinan itu meliputi: intelegensi, dominasi, percaya pada diri sendiri, energi, aktivitas, dan pengetahuan yang berhubungan dengan tugas.
2)      Pendekatan perilaku
Pada akhir tahun 1940-an, beberapa peneliti mulai memandang kepemimpinan sebagai suatu proses atau aktivitas yang dapat diamati. Pendekatan perilaku ini bertujuan untuk membedakan perilaku-perialaku yang dihubungkan dengan kepemimpinan yang efektif. Para peneliti mengasumsikan bahwa efektif atau tidaknya perilaku pemimpin tergantung pada bagaimana seorang pemimpin menerapkan pola-pola kepemimpinannya sesuai dengan situasi.
Menurut hasil penelitian, ada dua dimensi kepemimpinan, yaitu kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi kepada hubungan antara manusia. Seorang pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang tinggi dalam kedua dimensi kepemimpinan ini.
Kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas adalah pemimpin yang hanya menekankan penyelesaian tugas-tugas kepada para bawahannya dengan tidak mempedulikan perkembangan bakat, kompetensi, motivasi, minat, komunikasi, dan kesejahteraan bahwasannya ia hanya mementingkan kelancaran roda perjalanan organisasi yang dipimpinnya.
Sebaliknya, kepemimpinan yang berorientasi kepada hubungan antar manusia hanya menekankan perkembangan para bawahannya, kepuasan, motivasi, kerja sama, pergaulan, dan kesejahteraan mereka. Ia mementingkan nasib para bawahannya, sementara kepentingan organisasi menjadi nomor dua.

D.    Kepemimpinan kepala sekolah
Dalam konteks MBS, sekolah harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaannya guna meningkatkan kwalitas dan efesiensinya. Meskipun demikian, otonomi pendidikan dalam konteks MBS harus dilakukan dengan selalu mengacu pada akuntabilitas terhadap masyarakat, orang tua, siswa, maupun pemerintahan pusat dan dareah.
Dari segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada disekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada di dalam sekolah untuk bekerja atas dalam sistem nilai (values system) yang luhur, sehinggan semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orang tua siswa, masyarakt, dsb) bersedia, tanpa perasaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemiminan transformasional adala sebagai berikut:
1.      Mengidentifiakasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan).
2.      Memiliki sifat pemberani
3.      Mempercayai orang lain
4.      Bertindak dasar atas sistem nilai (bukan ata dasar kepenitingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya)
5.      Meninkatkan kemapuan secara terus menerus
6.      Memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu
7.      Memiliki visi ke depan
Kepala sekolah selaku pemimpin secara langsung merupakan contoh nyata dalam aktivitas kerja bawahannya. Kepala sekolah yang rajin, cermat, peduli terhadap bawahan akan berbeda dengan gaya kepemimpinan yang acuh tak acuh, kurang komunikatif apalagi arogan dengan komunitas sekolahnya. Beban kepala sekolah tidak ringan untuk dapat mengkooordinasi sistem kerja yang mampu memuaskan berbagai pihak tidak gampang. Meskipun demikian kepala sekolah yang baik tentunya harus memiliki skala prioritas kerja dengan tidak mengabaikan tugas pokok selaku kepala sekolah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan suatu inovasi dalam sistem pengelolaan sekoalh yang diadopsi dari konsep “school based management” . Dalam konsep MBS, sekolah memiliki kewenangan yang luas untuk menggali dan memanfaatkan sebagai sumber daya sesuai dengan prioritas kebutuhan aktual sekolah.
Ada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas, di bawah ini akan di uraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru:
1.      Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2.      Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada guru untuk dapat melaksanakan kegiatan  pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti: MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dsb, atau melalui kegiatan  pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti: kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatiahan yang diselenggarakan pihak lain.
3.      Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkanaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Sebarapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggarakan peningakatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4.      Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati pembelajaran secara langsung, tertama dalam pemilihan dan pengguanaan metode, media yang digunakan da keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
5.      Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Pemimpin adalah manusia, tetapi tidaklah semua manusia itu adalah pemimpin. Kepala sekolah adalah sosok idealnya memiliki visi, mampu memberikan inspirasi dan motivasi, serta kompeten (Kouzes dan Posner).
Melakukan tindakan-tindakan efektif dalam memotivasi bawahan adalah suatu keharusan sebaliknya melakukan tindakan kontra produktif yang dapat menjatuhkan motivasi bawahannya adalah suatu tindakan yang harus dihindari. MM Feinberg memberikan sebuah “lampu merah” bagi seorang kepala sekolah untuk menghindarkan tindakan-tindakan berikut yang mampu menjatuhkan motivasi bawahannya, diantaranya:
a         Meremehkan bawahan. Tindakan ini bisa membunuh rasa percaya diri dan inisiatif karayawan.
b        Mengkritik karyawan didepan karyawan lain. Tindakan ini pun bisa merusak hubungan yang sudah terbina baik.
c         Memberi perhatian setengah-setengah atau tidak memperhatikan karyawan. Kalau seorang pemimpin tidak mempeduliakan karayawannya maka rasa percaya diarinya akan luntur.
d        Memperhatikan diri sendiri. Pemimpin yang seperti ini dianggap egois dan hanya memanipulasi karyawan untuk kepentingannya sendiri.
e         Menganakemaskan seorang karyawan. Tindakan ini sebaiknya juga tidak dilakukan, karean bisa merusak moral karyawan lain.
f         Tidak mendorong karyawan untuk berkembang. Kalau karayawan merasa bahwa bos juga ikut berjuang bersama, mereka akan sangat termotivasi. Informasikan kesempatan yang ada dan jangan pernah mengekang minat para karyawan.
g        Tidak mempedulikan hal-hal kecil. Apa yang nampaknya kecil bagi anda, mungkin saja sangat penting bagi karyawan.
h        Merendahkan karyawan yang kurang terampil. Seorang pemimpin memang wajib menolerir ketidak mampuan karyawannya, namun hati-hati dalam menangani permasalahan yang ditimbulkan agar tidak sampai mempermalukan karayawannya.
i          Ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Atasan yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan akan mengakibatkan kebimbangan diseluruh organisasi.
6.      Kepala sekolah sebagai pencipta iklim
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatakn kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a         Para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan,
b        Tujuan kegiatan perlu disusun dengan jelas dan diinformasiakan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut,
c         Para guru harus selalu dberitahu tentang dari setiap pekerjaanya,
d        Pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperluakan
e         Usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosiologi-psikologi-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan.       
7.      Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Kepala sekolah dengan sikap kewirausahaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya. Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

E.     Tipe Kepemimpinan Pendidikan (Sekolah)   
Secara umum, ada tiga tipe kepemimpinan dalam kehidupan suatu organisasi, termasuk organisasi sekolah, yaitu tipe kepemimpinan yang otoriter, laissez faire, dan demokratis.
a         Tipe Otoriter
Dalam tipe kepemimpinan otoriter ini, seorang pemimpin lebih bersifat ingin berkuasa, dan akibatnya suasana sekolah selalu tegang. Pemimpin sama sekali tidak memberi kebebasan kepada bawahan untuk turut ambil bagian dalam memutuskan suatu persoalan, dan keputusan hanya dibuat sendiri oleh pemimpin. Dalam hal ini, pemimpin selalu mendikte tentang apa yang harus dikerjakan oleh karyawannya.
b        Tipe Laissez-faire
Sifat kepemimpinan tipe ini seolah-olah tidak muncul, karena pemimpin memberikan kebebasan yang penuh kepada para anggotanya dalam melaksanakan tugasnya, dan bawahan dalam hal ini mempunyai peluang besar untuk membuat keputusan.
c         Tipe Demokratis
Dapat dikatakan bahwa tipe kepemimpinan demokratis ini adalah tipe kepemimpinan yang diharapkan dalam sebuah sekoalah. Mengingat bahwa dalam tipe kepemimpinan ini, seorang pemimpin selalu mengikutsertakan seluruh bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Pemimipin akan mengahargai pendapat dan kreativitas para dosen dan karyawan yang ada di lingkungan sekolah, sehingga para bawahan pun akan turut serta bertanggung jawab dalam pelaksanaan program di sekolah tersebut.
Seorang kepala sekolah merupakan pelaku yang sangat dominan dalam sebuah sistem persekolahan, karena ia bersifat nyata, aktif, dan dinamis, dan ia juga menganut sistem manajemen pada umumnya, seperti prinsip-prinsip efesiensi, efektivitas, dan inovatif. Efesiensi ialah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan usaha yang dikeluarakan; sedangkan efektivitas ialah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapakan; sementara inovasi merupakan instrumen utama bagi suatu oraganisasi sekolah untuk menciptakan nilai dan cara memperharui dirinya.
                      
Paper ini untuk memenuhi tugas bapak Dirgantara Wicaksono, M.Pd...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar